
Jika mengingat kembali masa lalu, aku teringat pada sosok Awan kecil, seorang siswa SMP yang diam-diam sangat gemar menulis. Kegemaranku pada dunia tulisan tumbuh ketika aku bergabung dengan KIR (Karya Ilmiah Remaja). Setiap minggunya, aku rajin menulis, entah itu cerpen, puisi, hingga cerita lucu yang kutemukan di halaman koran. Semua kutuangkan di atas kertas, tanpa banyak pertimbangan, hanya berbekal rasa suka dan penasaran.
Menulis menjadi caraku untuk mengekspresikan diri. Hanya dengan pena dan selembar kertas, aku bisa menghidupkan imajinasi dan menuangkan isi hati. Tulisan-tulisan itu kemudian terpajang di mading sekolah, dan bagiku, itu sudah lebih dari cukup untuk merasa bangga. Awan kecil mungkin belum memahami sepenuhnya apa arti menulis, tapi dia tahu bahwa kegiatan itu membuatnya merasa hidup.
Salah satu pengalaman yang paling membekas yaitu saat aku bersama tim KIR mengikuti lomba mading antarsekolah. Kami menghabiskan waktu berhari-hari untuk menulis, mendesain, dan menghias papan mading dengan sebaik mungkin. Hasilnya? Kami berhasil meraih juara sebagai mading terkreatif.
Puncak kegemaranku menulis terjadi saat aku duduk di kelas 3 SMP. Di bawah bimbingan Ustaz Faizal, kegiatan KIR makin berkembang. Aku tidak hanya menulis puisi dan cerpen, tapi juga dipercaya menjadi reporter sekolah setiap hari Senin. Dengan bangga aku mengenakan topi bertuliskan "Jurnalis Muda", berdiri di luar barisan upacara, mencatat peristiwa dan kejadian yang nantinya akan dimuat di majalah sekolah. Rasanya seperti wartawan sungguhan.
Namun, semua itu perlahan meredup ketika aku menginjak bangku SMA. Entah kenapa, semangat menulis yang dulu begitu membara, seolah menghilang. Meskipun sempat tergugah saat mendapat tugas menulis autobiografi dan novel, nyatanya semangat itu tidak cukup kuat untuk bertahan lama. Klub mading yang awalnya kuharapkan menjadi wadah berkarya, justru bubar saat aku naik ke kelas 2. Lingkungan yang tidak mendukung membuatku merasa sendirian, dan menulis pun perlahan menjadi asing.
Waktu pun terus berjalan. Hingga akhirnya aku memasuki dunia perkuliahan, bertepatan dengan masa pandemi Covid-19. Saat semua orang terkurung dalam rumah, aku melihat seorang teman mengunggah tulisannya di platform Medium. Aku membaca tulisannya, dan entah kenapa, ada sesuatu dalam diriku yang tergerak. Aku langsung teringat pada diriku di masa SMP, anak kecil yang dengan riang menulis untuk mading.
Dari situlah semangat lama itu mulai menyala kembali.
Aku pun mulai menulis lagi. Perlahan tapi pasti. Kembali belajar menata kata, menuangkan pikiran, menumpahkan rasa. Menulis tidak lagi menjadi sekadar hobi masa kecil, tapi berkembang menjadi bagian dari hidupku yang sekarang. Saat ini, aku bahkan telah memulai karier sebagai seorang SEO content writer, sebuah profesi yang tidak pernah aku bayangkan 10 tahun lalu.
Bagi banyak orang, menulis mungkin hanyalah sebuah aktivitas biasa. Tapi bagiku, menulis adalah ruang paling jujur untuk mengekspresikan perasaan yang sulit diucapkan. Saat mulut tak mampu bicara, tulisan menjadi jembatan antara hati dan dunia luar. Ia menjadi teman paling setia yang tidak menghakimi, hanya menerima.
Tulisan ini pun lahir dari perasaan itu.
Kini aku menyadari, setiap orang punya alasan yang berbeda dalam menulis. Ada yang menulis untuk melampiaskan emosi, menyembuhkan luka, atau sekadar menuangkan ide-ide yang berkelebatan di kepala. Ada pula yang menulis karena ingin berbagi, mencari pemahaman, atau bahkan untuk melarikan diri dari kenyataan yang sulit dihadapi.
Apapun alasannya, menulis selalu punya arti mendalam bagi mereka yang mencintainya.
Tidak ada tulisan yang benar-benar sempurna. Tidak ada yang mutlak terbaik, dan tidak ada pula yang benar-benar buruk. Selama ditulis dengan hati dan kejujuran, setiap tulisan memiliki maknanya sendiri. Tulisan yang lahir dari pengalaman pribadi, dari rasa yang sungguh-sungguh, akan selalu terasa tulus dan menyentuh.
Dan itulah yang membuat menulis begitu berharga.