Kamis, 25 Januari 2024

Landasan Normatif-Teologis Fintech

 

Landasan Normatif-Teologis Fintech



Oleh:
  • Syaukat
  • Egi
  • Rahmad Fil Ardhi

Dalam beberapa tahun terakhir, istilah Fintech merupakan istilah yang kini populer di masyarakat. Saat kita mendengar istilah fintech pasti yang terlintas dalam pikiran seseorang ialah segala sesuatu yang identik dengan efektif dan efisien dalam setiap transaksi, meliputi pembayaran, peminjaman, pengiriman, investasi, peminjaman uang, dan lain sebagainya dengan mudah dan cepat. Dengan adanya fintech yang memberikan berbagai keunggulan diantaranya menghemat waktu, pikiran, tenaga dan biaya. Hal tersebut dikarenakan adanya fasilitas fasilitas yang memudahkan dan mempercepat setiap transaksi yang dilakukan dimanapun dan kapan pun dengan memanfaatkan adanya perkembangan teknologi saat ini.

Menurut Bank Indonesia, Finansial Technology (Fintech) adalah pemanfaatan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan model bisnis baru yang dapat berdampak pada sistem keuangan, efisiensi, keamanan, dan sistem pembayaran. Karena kemudahan dan kecepatan ini, fintech menjadi popular di kalangan milenial dan diperkirakan akan terus berkembang.

financial technologi menurut Nasional Digital Research Center (NDRC), istilah fintech adalah sebuah inovasi yang menggunakan teknologi modern di bidang keuangan. Fintech adalah layanan keuangan berbasis teknologi, dimana fintech merupakan layanan yang inovatif di bidang layanan keuangan yang menggunakan sistem online.

Fintech dalam pandangan syariah

Syariah adalah kata bahasa arab yang secara harfiahnya berarti jalan atau garis yang harus diikuti. Secara terminologi pengertian syariah adalah “peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan oleh Allah, atau digariskan pokok-pokoknya dan diwajibkan kepada umat Islam sebagai hubungan antara mereka dengan Allah SWT dan diantara mereka dengan sesame umat muslim. Islam mengatur berbagai hal dalam sendi kehidupan manusia, termasuk dalam berbisnis.

Menurut Agustianto: al-Qur’an mengatur delapan prinsip mengenai perdagangan agar tercipta kemaslahatan bersama, yaitu: Pertama, setiap melakukan transaksi dalam perdagangan, wajib adanya sikap saling ridha antara produsen dan konsumen, sehingga kedua belah pihak tidak merasa dirugikan dan dizalimi; kedua, menjunjung tinggi prinsip keadilan, keseimbangan dalam takaran, ukuran mata uang, dan pembagian keuntungan; ketiga, diharamkannya riba’; keempat, kasih sayang dan tolong menolong sesama bersaudara secara universal; kelima, tidak melakukan segala macam kegiatan investasi keuangan pada usaha yang diharamkan; keenam, perdagangan harus menghindari praktik spekulasi, gharar, tadlis, dan maysir; ketujuh, perdagangan tidak boleh melupakan ibadah sholat dan zakat serta selalu mengingat Allah; dan kedelapan, wajib adanya pencatatan baik itu tunai, hutang-piutang.

Dasar Hukum Fintech dalam islam

Dewan Standar Nasional Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa terkait layanan pembiyaan berbasis teknologi informasi berdasarkan prinsip syariah. dikeluarkannya fatwa tersebut dengan didukung adanya beberapa ayat Al Quran, hadis, dan kaidah fikih.

Ayat Al-Qur’an

„hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang diambil atas sukarela di antara kalian..‟ QS. An-Nisa (4): 29

Dewan Standar Nasional Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa tersebut karena mempertimbangkan beberapa hal, yaitu: 1) semakin berkembangnya teknologi dan semakin cepatnya akses yang dibutuhkan oleh pelaku usaha skala mikro, kecil, dan menengah; serta 2) masyarakat memerlukan penjelasan terkait ketentuan dan regulasi hukum terkait pembiayaan berbasis teknologi.

Akad dan pertemuan antara produsen dan konsumen (penjual dan pembeli) di satu tempat/majelis dalam setiap bertransaksi memang salah satu syarat sah yang harus dipenuhi. Namun, pada konsep financial technology, kedua aspek tersebut dihilangkan. Hal ini disebabkan karena pergerakan manusia yang sangat tinggi, waktu yang semakin terbatas, dan transaksi yang harus tetap terpenuhi membuat akad dan pertemuan bukan menjadi kewajiban. Financial technology mampu mengganti kedua aspek tersebut dengan perjanjian dan pertemuan secara online dan mobile.

Dasar Hukum fintech syariah merujuk Majlis Ulama Indonesia (MUI) yaitu : (FATWA DSN MUI No.117/DSN-MUI/II/2018). Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia ini mengenai prinsip syariah pada layanan pembiayaan berbasis digital.

Pada poin pertama mengenai ketentuan umum, DSN MUI menjelaskan bahwa layanan pembiayaan digital berbasis syariah, merupakan penyelenggaraan layanan untuk mempertemukan antara pemberi pembiayaan dan penerima pebiayaan berdasarkan prinsip yang sesuai dengan syariah melalui teknologi informasi.

Pada point keempat dari Fatwa DSN MUI No. 117 mengenai ketentuan pedoman umum layanan pembiayaan teknologi informasi, menyebutkan bahwa kegiatan transaksi tidak boleh mengandung unsur riba, tadlis, gharar, maysir, haram dan zalim. Dan perbedaan mendasar fintech pada umumnya dengan syariah adalah dengan memperhatikan akad akad syariah yang akan dibentuk dalam sebuah kegiatan layanan pembiayaan berbasis teknologi informasi.

Menurut Yarli (2018), Dinamika dan berbagai kendala pemikiran yang dihadapi oleh financial technology syariah adalah adanya beda akad yang dipakai dalam sebuah entitas berbasis syariah. Menurut pekerti et al (2018), akad ijab qabul dalam sebuah perjanjian jual beli dapat dilaksanakan dengan ucapan, tulisan atau isyarat bagi mereka yang tidak mampu berbicara atau menulis. Bahkan dapat dilakukan dengan perbuatan yang menunjukkan aspek rela antara kedua belah pihak untuk mengadakan sebuah perjanjian yang umumnya dikenal dengan al mu’athah. Sebenarnya, didalam Al-Qur’an tidak mengatur secara teknik dan detail apa saja penggunaan kata yang digunakan dalam sebuah ijab qabul jual beli. Ijab qabul jual beli dapat dilakukan menurut kebiasaan sepanjang tidak bertolak belakang dengan syara’.

Jadi dapat disimpulkan bahwa produk dari fintech syariah yang pertama, harus terbebas dari transaksi yang dilarang, kedua, produk sesuai dengan akad atau transaksi syariah, dan ketiga, wajib menjaga adab-adab (akhlak) islam dalam bermuamalah.

Contoh Produk Fintech Dalam Perspektif islam

Salah satu produk yang dilahirkan oleh fintech  adalah bitcoin. Bitcoin adalah salah satu bentuk mata uang digital yang pertama kali muncul pada tahun 2009 yang diperkenalkan oleh Satoshi Nakamoto sebagai mata uang digital yang berbasiskan cryptography.

Di dalam islam banyak sekali perbedaan pendapat tentang bitcoin. Ada Sebagian ulama berpendapat bahwa bitcoin itu haram, dan Sebagian lagi memperbolehkannya jika digunakan sebagai alat transaksi. MUI (Majelis Ulama Indonesia) juga menegaskan bahwa Bitcoin hukumnya adalah mubah sebagai alat tukar bagi yang menggunakannya, Namun Bitcoin jika investasi hukumnya adalah haram karena hanya alat sepekulasi bukan untuk investasi, hanya alat permainan untung rugi buka bisnis yang menghasilkan.

Reference :

Agustianto. (2004). Ekonomi Keuangan dan Perdagangan dalam Al-Qur’an.

Fatwa Dewan Standar Majelis Ulama Indonesia Nomor 117/DSN-MUI/II/2018 Mengenai Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah. (2018). Indonesia.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial. Indonesia.

Yarli, D. (Juli-Desember 2018). Analisis Akad Tijarah pada Transaksi fintech Syariah dengan Pendekatan Maqashid. Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam YUDISIA, Vol. 9 No. 2 .

Darmawan, Oscar, Bitcoin Mata Uang Digital Dunia, admin@jasakom.com, Dumairy, 2014. Perekonomian Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 1997.