Perkembangan teknologi sangat mempermudah kehidupan manusia saat ini.
Proses pertukaran informasi terjadi begitu cepat, dapat dilakukan dimana saja
asalkan terhubung dalam jaringan internet. Pencarian informasipun sama mudahnya, cukup
mengetik mengenai hal yang kita butuhkan di kolom pencarian maka dalam beberapa
detik, beberapa pilihan pencarian kita terpampang di depan kita. Bukan hanya sektor
komunikasi yang terkena dampak dari perkembangan ini, tetapi banyak aspek yang
berkembang akibat perkebangan teknologi komunikasi. Bisnis, pendidikan, diplomasi
dan sabagainya terdampak dalam perkembangan teknologi komunikasi ini. Pada bidang jurnalistik, para wartawan tidak lagi berebutan mencari telepon kabel
untuk menyampaikan secara langsung. Dengan canggihnya teknologi proses
penyampaian berita dapat terjadi dengan cepat dengan minimnya gangguan.
Perkembangan teknologipun membawa angin sejuk
bagi perusahaan media, dengan adanya portal berita online dapat mengurangi
biaya cetak koran yang dimana biayanya terbilang tidak murah. Angin sejukpun
dapat dirasakan oleh para jurnalis, dimana mereka dapat mendapatkan berita
hanya dari internet, banyak sekali kejadian kejadian di media sosial yang dapat
dijadikan berita. Namun, di tengah banyaknya manfaat yang didapatkan dari perkembangan
teknologi, terdapat pula hal yang begitu buruk seingga melemahkan jurnalisme itu
sendiri, bahkan dengan kemudahan untuk berbagi informasi itu dapat mengancurkan
jurnalisme.
Berita hoax semakin banyak berkembang,
meskipun sudah banyak website untuk mengecek keakuratan berita, tetapi banyak
juga yang masih termakan berita berita palsu. Teringat saat virus Corona sedang
ganas ganasnya, terdapat video editan dimana ada seorang bayi berbicara mengenai
telur rebus dapat mencegah Corona, jika kita melihat video tersebut maka
sangat mudah bagi kita mengindentifikasi bahwa video tersebut adalah editan,
bahkan editan tersebut belum bisa menandingi editan editan naga di sinetron Indosiar.
Maksudnya begitu mudah di ketahui bahwa video tersebut adalah editan. Namun,
banyak sekali orang tua- orang tua yang percaya tentang video tersebut. Mereka dengan
cepat keluar rumah untuk mencari telur. Bahkan sampai Kominfo merilis bahwa video
tersebut adalah video hoax. Padahal jika mengingat perkembangan teknologi,
perkembangan ilmu pengetahuan maka tidak perlu ada penjelasan resmi mengenai
video tersebut. Namun, yang terjadi di masyarakat memang belum semodern itu
dalam menerima informasi.
Produsen berita berita hoax bukan hanya
dari orang orang iseng ataupun mempunyai maksud tertentu. Para Jurnalispun
dalam sejarah beberapa kali membuat berita hoax tanpa mereka sadari
dikarenakan mereka terlena dengan kemudahan dalam mendapatkan informasi. Pada pemerintahan
Presiden George Bush yang menginvasi Irak pada tahun 2003, didasari salah satu
isu adanya senjata pemusnah massal yang dimiliki oleh Presiden Saddam Husein.
Banyak media umum yang termakan isu ini bahkan mereka berdiri dan menyambut
kebijakan presiden Bush tersebut. Para wartawan kehilangan sikap skeptisnya.
Pada akhirnya banyak dari wartawan yang sadar dan menyesal sebab tuduhan tuduhan
Presiden Bush yang diapakai untuk meyerang Irak ternyata tidak terbukti. Dan
sekarang Amerika mengutuk keras Rusia atas penyerangannya kepada Ukraina. Heyyy
Sadarrr…
Mari kita kembali ke negara kita tercinta
Indonesia, di mana pada tahun 2014 media saat itu ramai memberitakan bahwa Perdana
Menteri Singapura Lee Hsien Loong memutuskan untuk tidak berteman di Facebook
dengan Presiden SBY. Lee juga dikabarkan menghapus tag foto SBY di album
Facebook Lee. Berita ini awalnya dikutip oleh newnation.sg, media Singapura. Lalu
media di Indonesia beramai ramai mengekor berita tersebut karena takut
ketinggalan dari media lain juga takut dianggap ketinggalan isu. Tak selang beberapa
lama Kompas.com meralat berita tersebut dengan mengatakan bahwa akun Facebook
yang dimaksud adalah akun pendukung SBY (fanpage) bukan akun pribadi Pak SBY.
Maka baik dari produsen dan konsumen berita
harus betul betul jeli dalam melihat informasi, Daru Priyambodo selaku pemimpin
redaksi Tempo.co menulis artikel dengan judul “ The Clicking Monkeys” menurutnya, The Clicking Monkeys adalah
julukan untuk orang yang dengan riang mengklik handphonenya untuk menyebarkan
hoax ke sana ke-mari. Mereka seperti sekunpulan monyet riuh saling
melempar buah busuk di hutan. Agar tidak keliatan lugunya mereka biasanya
menambahkan kata seperti “ Apa iya benar info ini?” atau “Saya hanya retweet,
lhoo.”
Jangan kita mengaku melek informasi dan
teknologi, kalau kita hanya membaca judul berita merasa sudah paham isinya, merasa tidak perlu untuk mengecek kebenarannya lalu menyebar luaskannya di media sosial agar dianggap paling awal mengetahui sebuah informasi dan mendapat julukan Si Paling Update.