Sabtu, 09 April 2022

Si Paling Update

 



Perkembangan teknologi  sangat mempermudah kehidupan manusia saat ini. Proses pertukaran informasi terjadi begitu cepat, dapat dilakukan dimana saja asalkan terhubung dalam jaringan internet.  Pencarian informasipun sama mudahnya, cukup mengetik mengenai hal yang kita butuhkan di kolom pencarian maka dalam beberapa detik, beberapa pilihan pencarian kita terpampang di depan kita. Bukan hanya sektor komunikasi yang terkena dampak dari perkembangan ini, tetapi banyak aspek yang berkembang akibat perkebangan teknologi komunikasi. Bisnis, pendidikan, diplomasi dan sabagainya terdampak dalam perkembangan teknologi komunikasi ini. Pada bidang jurnalistik, para wartawan tidak lagi berebutan mencari telepon kabel untuk menyampaikan secara langsung. Dengan canggihnya teknologi proses penyampaian berita dapat terjadi dengan cepat dengan minimnya gangguan.

Perkembangan teknologipun membawa angin sejuk bagi perusahaan media, dengan adanya portal berita online dapat mengurangi biaya cetak koran yang dimana biayanya terbilang tidak murah. Angin sejukpun dapat dirasakan oleh para jurnalis, dimana mereka dapat mendapatkan berita hanya dari internet, banyak sekali kejadian kejadian di media sosial yang dapat dijadikan berita. Namun, di tengah banyaknya manfaat yang didapatkan dari perkembangan teknologi, terdapat pula hal yang begitu buruk seingga melemahkan jurnalisme itu sendiri, bahkan dengan kemudahan untuk berbagi informasi itu dapat mengancurkan jurnalisme.

Berita hoax semakin banyak berkembang, meskipun sudah banyak website untuk mengecek keakuratan berita, tetapi banyak juga yang masih termakan berita berita palsu. Teringat saat virus Corona sedang ganas ganasnya, terdapat video editan dimana ada seorang bayi berbicara mengenai telur rebus dapat mencegah Corona, jika kita melihat video tersebut maka sangat mudah bagi kita mengindentifikasi bahwa video tersebut adalah editan, bahkan editan tersebut belum bisa menandingi editan editan naga di sinetron Indosiar. Maksudnya begitu mudah di ketahui bahwa video tersebut adalah editan. Namun, banyak sekali orang tua- orang tua yang percaya tentang video tersebut. Mereka dengan cepat keluar rumah untuk mencari telur. Bahkan sampai Kominfo merilis bahwa video tersebut adalah video hoax. Padahal jika mengingat perkembangan teknologi, perkembangan ilmu pengetahuan maka tidak perlu ada penjelasan resmi mengenai video tersebut. Namun, yang terjadi di masyarakat memang belum semodern itu dalam menerima informasi.

Produsen berita berita hoax bukan hanya dari orang orang iseng ataupun mempunyai maksud tertentu. Para Jurnalispun dalam sejarah beberapa kali membuat berita hoax tanpa mereka sadari dikarenakan mereka terlena dengan kemudahan dalam mendapatkan informasi. Pada pemerintahan Presiden George Bush yang menginvasi Irak pada tahun 2003, didasari salah satu isu adanya senjata pemusnah massal yang dimiliki oleh Presiden Saddam Husein. Banyak media umum yang termakan isu ini bahkan mereka berdiri dan menyambut kebijakan presiden Bush tersebut. Para wartawan kehilangan sikap skeptisnya. Pada akhirnya banyak dari wartawan yang sadar dan menyesal sebab tuduhan tuduhan Presiden Bush yang diapakai untuk meyerang Irak ternyata tidak terbukti. Dan sekarang Amerika mengutuk keras Rusia atas penyerangannya kepada Ukraina. Heyyy Sadarrr…

Mari kita kembali ke negara kita tercinta Indonesia, di mana pada tahun 2014 media saat itu ramai memberitakan bahwa Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong memutuskan untuk tidak berteman di Facebook dengan Presiden SBY. Lee juga dikabarkan menghapus tag foto SBY di album Facebook Lee. Berita ini awalnya dikutip oleh newnation.sg, media Singapura. Lalu media di Indonesia beramai ramai mengekor berita tersebut karena takut ketinggalan dari media lain juga takut dianggap ketinggalan isu. Tak selang beberapa lama Kompas.com meralat berita tersebut dengan mengatakan bahwa akun Facebook yang dimaksud adalah akun pendukung SBY (fanpage)  bukan akun pribadi Pak SBY.

Maka baik dari produsen dan konsumen berita harus betul betul jeli dalam melihat informasi, Daru Priyambodo selaku pemimpin redaksi Tempo.co menulis artikel dengan judul “ The Clicking Monkeys”  menurutnya, The Clicking Monkeys adalah julukan untuk orang yang dengan riang mengklik handphonenya untuk menyebarkan hoax ke sana ke-mari. Mereka seperti sekunpulan monyet riuh saling melempar buah busuk di hutan. Agar tidak keliatan lugunya mereka biasanya menambahkan kata seperti “ Apa iya benar info ini?” atau “Saya hanya retweet, lhoo.”

Jangan kita mengaku melek informasi dan teknologi, kalau kita hanya membaca judul berita merasa sudah paham isinya, merasa tidak perlu untuk mengecek kebenarannya lalu menyebar luaskannya di media sosial agar dianggap paling awal mengetahui sebuah informasi dan mendapat julukan Si Paling Update.